SENYUM ITU MEREKAH KEMBALI.......

”Aku akan menikah minggu depan,” kata teman saya. Tentu saja saya menyambut ucapan itu dengan suka cita. Tapi ada kejanggalan yang saya tangkap dari raut mukanya. Tidak biasanya seorang calon pengantin mengabarkan pernikahannya dengan muka murung, sehingga hal ini menimbulkan tanya di hati saya. Ada Apa Dengan Dia ? Lalu saya beranikan diri untuk bertanya, ”Ada apa dengan pernikahanmu ? Mengapa kamu mengabarkan kepadaku dengan muka yang murung ? Sedangkan teman-teman yang lain biasanya mengabarkan pernikahannya dengan mata berbinar-binar. Calon suamimu orang yang sholeh, berpenghasilan, kurang apa lagi ?”
”Calon suamiku mengidap kanker otak stadium III,” jawab teman saya.
Cukup kaget saya mendengarnya. Lalu saya bertanya, ”Bukankah kamu sudah menentukan pilihan ? Kamu sudah ridha kan dia jadi suamimu ?”
”Iya,” jawab teman saya masih menunduk. Selama percakapan itu dia tidak menatap saya, ada sejumput kesedihan yang ingin dia sembunyikan dari saya.
”Oke, kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan dan kamu sudah ridha, tugasmu adalah tawakal,” hibur saya. Pernahkan kamu mendengar sebuah riwayat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW tercinta tentang dialog antara seorang pemuda dan malaikat Izrail ? Saat itu ada seorang pemuda, dia sudah berusia 30 tahun. Kemudian hari itu malaikat Izrail datang padanya untuk mencabut nyawanya. Malaikat Izrail menyamar sebagai manusia dan berdialog dengan pemuda itu.
”Aku malaikat Izrail, pada hari ini aku ditugaskan untuk mencabut nyawamu,” kata malaikat Izrail.
Pemuda itu menjawab, ”Tapi besok pagi aku akan menikah.”
Setelah mendengar jawaban pemuda itu malaikat Izrail berkata, ”Baiklah, Allah menunda kematianmu sampai besok pagi.” Lalu berlalulah malaikat Izrail dan menghilang.
Esok harinya pemuda itu melangsungkan pernikahannya. Kemudian datang kembali malaikat Izrail yang menyamar sebagai manusia menghampiri pemuda itu. Dengan serta merta pemuda itu bertanya, ”Mengapa engkau belum mencabut nyawaku ?”
”Allah menunda kematianmu 30 tahun lagi disebabkan pernikahanmu,” jawab malaikat Izrail.
Tidakkah kau yakin dengan peristiwa itu ketika yang menyampaikan adalah orang yang dijamin hidupnya oleh Allah SWT ? Itulah salah satu berkah dari pernikahan. Tentu saja jika pemuda itu ditunda kematiannya 30 tahun lagi pastinya dia sudah beranak cucu. Jika dia meninggal pada usia 60 tahun, sudah menjadi standar usia manusia karena Rasulullah meninggal dunia pada usia 63 tahun.
Setelah mendengar cerita itu, ada senyum yang merekah dibibirnya, kepalanya mulai terangkat dan matanya berbinar-binar. Akhirnya dilangsungkan sebuah pesta pernikahan yang sangat meriah dan mewah. Setelah itu kegiatan teman saya yang utama adalah mengantar suaminya kontrol dokter ke rumah sakit dan menjaga makanannya.
Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan orang yang sabar dan amal sholehmu kepada suami bisa memuliakanmu dan menghantarkan kamu ke syurga. Selamat berjuang teman!

PENANGKAL MAKSIAT

Alkisah, suatu hari seorang laki-laki menghadap Ibrahim ibn Adham, seorang sufi ternama, mengadukan persoalan pribadinya yang suka lupa diri, tergiur oleh kenikmatan dunia dan berbuat maksiat. ”Ada lima hal yang harus kau laksanakan untuk menangkal maksiat yang menyerangmu,” Ibrahim ibn Adham memulai nasihatnya.
”Sampaikan kelima hal itu kepadaku, wahai, Syekh, ” kata lelaki itu.
”Pertama, renungkan baik-baik, bila kamu hendak melakukan durhaka kepada Allah, bisakah kamu memakan rezeki selain rezekiNya ?,” padar Ibrahim.
”Tentu saja tidak mungkin, ya Syekh. Bukankah semua yang ada di bumi ini adalah rezekiNya ?” jawab lelaki itu.
”Kalau begitu, pantaskah kamu memakan rezekiNya, padahal kamu durhaka kepadaNya ?” lanjut Ibrahim.
”Kedua, ketika kamu hendak bertindak durhaka kepada Allah, bisakah kamu tidak menginjak bumiNya ?”
”Sungguh tidak mungkin. Di mana aku bisa bertempat tinggal selain di bumi ini?” kata lelaki itu.
”Kalau begitu, pantaskah kamu memakan rezeki dan bertempat di wilayahNya ?” tanya Ibrahim.
”Ketiga, bila kamu tetapi ingin mendurhakaiNya, cobalah kamu mencari tempat lain yang tidak diketahui oleh siapapun agar kamu dapat leluasa berbuat maksiat.”
”Wahai Ibrahim. Bagaimana mungkin aku dapat melakukannya. Bukankah Dia mengetahui apapun yang aku kerjakan, di manapun dan kapanpun ?” kata lelaki itu.
”Jadi, pantaskah kamu memakan rezekiNya dan berada di wilayahNya, dan Dia mengawasi segala gerak-gerikmu ?” papar Ibrahim.
”Keempat, ketika datang malaikat untuk mengambil nyawamu, mintalah kepadanya waktu penundaan. Mintalah waktu bertobat, sehingga kamu bisa beramal saleh.”
”Ini juga mustahil, Syekh,” jawab lelaki itu.
”Kalau kamu tidak mungkin menolak kematian, lalu bagaimana kamu akan mendapatkan jalan untuk menyelamatkan diri ?” tanya Ibrahim.
”Kelima, bila di hari kiamat nanti malaikat membawamu ke neraka akibat dosa-dosamu, mampukah kamu menolaknya ?”
”Juga sangat mustahil, wahai, Syekh,” kata lelaki itu.
Demikianlah, nasihat Ibrahim ibn Adham yang diangkat oleh Ibnu Qudamah al Maqdisy, dalam Mukhtasharu Kitab al-Tawabin sesungguhnya juga berlaku buat kita semua, terlebih ketika berada di bulan Ramadhan. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, barangsiapa berbuat kebaikan maka sesungguhnya dia tengah menabung kebaikan untuk dirinya.
Sebaliknya, barangsiapa berbuat kejahatan, maka dia tengah merintis jalan ke neraka untuk dirinya. Dan sesungguhnya berbagai larangan Allah itu kesemuanya semata kasih sayangNya pada manusia dan hambaNya yang beriman dan senang beramal saleh. Semoga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang lupa terhadap diri dan lupa pada Tuhannya.

**Dikutip dari Mutiara Hikmah Harian Republika**
Category: 0 komentar

PUASA DAN KASIH SAYANG

Ibadah puasa dipahami oleh ulama Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, sebagai proses meneladani sifat-sifat Allah. Kaum Muslim diperintahkan agar dapat meniru dan meneladani sifat-sifat Allah yang mulia itu. Nabi bersabda, “Berakhlaklah kamu seperti akhlak Allah SWT.”
Sebagaimana diketahui, Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman) dan Penyayang (Ar-Rahim). Nabi Muhammad SAW adalah juga seorang yang pengasih (ra’uf) dan penyayang (rahim). Kaum Muslim melalui ibadah puasa yang dilakukan diharapkan dapat memiliki sifat rahmah, sehingga mereka dapat membangun kehidupan ini dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Dalam bahasa Al-Quran, kasih sayang itu disebut ‘rahmah’ yang menurut pakar tafsir al Ishfahani bermakna Ra’fatun taqtadhi al Ihsan ila al-Marhum (rasa iba yang mendorong seseorang berbuat baik kepada orang lain, terutama orang yang memiliki kesulitan dan membutuhkan pertolongan).
Secara spiritual, kasih sayang dapat dipandang sebagai pangkal kebaikan. Diceritakan, Rasulullah SAW pernah menangis (mengeluarkan air mata) ketika putranya meninggal dunia. Ketika ditanya, Rasulullah SAW menjawab, “Ini adalah kasih sayang. Siapa yang tidak memiliki kasih sayang, tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari orang itu, “sambung Nabi.
Seperti halnya Nabi, kita perlu memupuk dan menumbuhkan sifat kasih sayang itu dalam hati dan jiwa kita. Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, menumbuhkan sense of crisis, yaitu semangat untuk mengerti kesulitan dan penderitaan orang lain. Sifat ini akan mendorong kepekaan dan kepedulian social kita.
Kedua, menumbuhkan sense of achievement, yaitu semangat untuk maju dalam arti memiliki kemampuan untuk membebaskan manusia dari segala penderitaan. Sifat dan semangat yang kedua ini penting, karena bila kita terbelit kesusahan, sulit dibayangkan kita bisa membantu dan membebaskan kesulitan orang lain.
Semoga ibadah puasa yang kita lakukan dapat menumbuhkan dan menghidupkan kasih sayang itu dalam diri kita, sehingga keberagamaan kita benar-benar menjadi rahmat bagi sesama dan semesta alam. Amin. (Disadur dari Mutiara Hikmah Harian Republika)
Category: 0 komentar

STRESS

Kata ini sering kita dengar dan diucapkan oleh banyak orang. Dengan mudahnya seseorang mengatakan ”stress” bahkan ada salah seorang teman yang setiap kali mengatakan ”stress” untuk melegitimasi tingkah laku aneh yang dia lakukan. Seakan-akan kita bisa berbuat apa saja dengan alasan lagi ”stress”. Padahal keadaan diri kita masih baik, masih bisa makan 3 X sehari, masih bisa beribadah dengan tenang, masih bisa bekerja dengan baik, masih diberi kesehatan, tapi tidak sadar kita mendoakan diri kita sendiri agar masuk ke dalam kondisi gangguan jiwa yaitu ”stess”. Sehingga suatu kali saya mengatakan,”Kalau kamu mengatakan stress itu hal biasa bagi saya, berarti kamu lagi normal, tapi kalau kamu mengatakan tidak stress, nah baru saya heran berarti ada something worng with you.” Teman saya tertawa mendengar pernyataan saya. Seharusnya seorang muslim tidak layak mengatakan demikian walau dalam kondisi terjepit sekalipun. Jika Rasulullah pernah bersabda bahwa ”Setiap ucapan adalah do’a” maka kita perlu berhati-hati memilih kosakata untuk lisan kita. Ada amalan mujarab yang dicontohkan Rasulullah untuk menghindari kondisi ini yaitu ”Dzikrullah”. ”Alla bidzikrillahi tathmainnul quluub.” Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang....
Selamat mencoba........semoga tidak saya dengar lagi kata ”stress” itu lagi.

KARYA SASTRA

Dulu waktu kecil saya suka membaca buku cerita entah itu dongeng si Kancil, cerita di majalah Bobo atau cerita legenda dari nusantara. Setiap pergi ke perpustakaan daerah, saya pasti meminjam buku cerita. Saat sekolah tingkat menengah saya mulai suka membaca novel karya sastra angkatan pujangga baru seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Layar Terkembang, dsb. Ternyata karya sastra tersebut sebagian besar ditulis oleh orang Melayu dengan bahasa yang indah tapi terdengar aneh juga karena terlalu banyak ungkapan. Dengan membaca karya sastra kita bisa mengambil hikmah dan gambaran dari sosiokultural setting cerita yang ditulis. Kita juga bisa mencermati kritik sosial dan pesan penulis untuk pembaca yang biasanya terkait dengan nilai moral dan budaya. Satu hal lagi yang saya sukai dari karya sastra angkatan pujangga baru adalah pengungkapan cerita yang ditulis secara santun. Bandingkan dengan karya sastra saat ini, mereka memang lebih kreatif tapi bahasa yang ditulis lebih cenderung vulgar, sarkastik, dan kasar. Sehingga hal tersebut membawa pembaca untuk meniru kata-kata mereka. Dengan alasan kemerdekaan berpikir dan berpendapat, mereka sesuka hati menuangkannya dalam tulisan yang terkadang tidak ada batasan etika dan moral. Jika seorang seniman atau sastrawan itu mempertimbangkan segi tersebut tentu karya sastra itu akan menjadi kontribusi besar bagi perbaikan umat manusia. Akan bermanfaat untuk pembentukan pola pikir dan mental pembacanya. Karena tidak sedikit orang yang pola pikir dan mentalnya terbentuk karena pengaruh dari bacaan yang dia baca, selain faktor lingkungan dan pendidikan yang dia terima.