PENGARUH PERSPEKTIF SOSIOLINGUSITIK

PENGARUH PERSPEKTIF SOSIOLINGUSITIK
BAHASA DAN KOMUNIKASI DALAM PENGAJARAN BAHASA

Bahasa dan komunikasi memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain. Bahasa sebagai sistem lambang, dan komunikasi sebagai sistem penyampaian pesan menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Sebagai alat komunikasi, bahasa menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam suatu proses komunikasi. Menurut Brown (2000:4) “Language is a system of arbitrary conventionalized vocal, written, or gestural symbols that enable members of a given community to communicate intelligibly with one another. Bahasa sebagai alat komunikasi mengandung pengertian sebagai suatu sistem yang bersifat sistematis dan sistemis. Artinya bahwa, bahasa merupakan kesatuan dari beberapa subsistem, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang dapat dikaji secara terpisah (Chaer, 2003:4). Selain itu, bahasa juga harus dapat dipahami satu sama lain oleh pelaku komunikasi sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai.
Bahasa juga dapat menggambarkan suatu hubungan sosial dalam proses komunikasi itu sendiri. Gee menyatakan bahwa,
Many people think that the primary purpose of language is to “communicate information.” However, language serves a great many functions and giving and getting information, even in our new information Age, is by no means the only one. The following two closely related functions: to support the performance of social activities and social identities and to support human affiliation within cultures, social groups, and institutions.(2005:1)
Sebagaimana Robin juga menyatakan, ”A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates.” (1981:9). Ada satu kata kunci dari definisi tersebut, yaitu “social group cooperates” yang berarti bahwa dalam proses berbahasa dapat menggambarkan kerjasama dari suatu kelompok sosial tertentu. Salah satunya yaitu, gambaran satus sosial penutur (addresser) dan petutur (addressee). Dengan kata lain bahwa, proses berbahasa sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dimana peristiwa tutur itu terjadi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kajian soisolinguistik sangat berpengaruh dalam analisis suatu ujaran dalam proses komunikasi. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah perspektif sosiolinguistik bahasa dan komunikasi ? Kemudian, bagaimana pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa ?
Perspektif Sosiolinguistik Bahasa dan Komunikasi
Kajian sosiolinguistik muncul sebagai kritik atas aliran strukturalis yang salah satu tokohnya adalah Franz Boas. Mereka hanya mengkaji bahasa dari aspek parole atau hal yang dapat diamati. Strukturalis memandang bahasa sebagai sebuah struktur yang dapat dilihat. Analisis bahasa hanya sampai pada tataran permukaan (surface structure). Makna sebuah kalimat hanya ditentukan oleh struktur dari unsur-unsur fungsi bahasa yang membentuknya.
Sebagaimana Chandler memberikan definisi yaitu :
Strukturalism ; The primary concern of the structuralists is with system or structures rather than with referential meaning or the specificities of usage (see langue and parole). Structuralist regard each language as a relational system or structure and give priority to the determining power of the language system (2002:242).
Paradigma tersebut memunculkan istilah yang dikenal dengan “Formalism” yaitu aliran yang menganalisis bahasa hanya dilihat dari keapikan bentuknya saja. Dalam kajian semiotik, kaum strukturalis mengesampingkan konteks sosiokultural. Mereka tidak mengkaji hubungan antara penanda (signifiers) dan bidang tanda (signifield) yang secara ontologi bersifat arbitrer, tetapi secara sosial hubungan tersebut tidak bersifat arbitrer. Sebuah ujaran tidak hanya dilihat dari bagaimana ujaran itu secara struktural diujarkan (how) tapi juga harus dipertimbangkan mengapa ujaran itu secara sosial diujarkan (why) (Chandler, 2002:210).
Kelemahan pandangan formalism itulah yang memunculkan aliran baru yang dikenal dengan istilah “Fungsionalism”.
Kridalaksana menyatakan bahwa,
Fungsionalisme adalah gerakan dalam linguistik yang berusaha menjelaskan fenomen bahasa dengan segala manifestasinya dan beranggapan bahwa mekanisme bahasa dijelaskan dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada kemudian dari mekanisme itu sendiri (2002:33).
Aliran ini berangkat dari perspektif ilmu sosiolinguistik yang menitik beratkan pada hubungan bahasa dengan masyarakat. Titik berat kajian sosiolinguistik adalah hubungan bahasa dengan konteks dimana bahasa itu digunakan. Ketika berbicara, seorang penutur akan menggunakan bahasa yang berbeda sesuai dengan konteks sosialnya. Hal ini menandakan bahwa, ada fungsi sosial bahasa dan makna sosial dalam setiap ujaran (Holmes, 2001:1). Perbedaan itu bukan terletak pada struktur dan wujud ujaran, tetapi lebih kepada siapa dan dimana peristiwa tutur itu terjadi serta tujuan penutur.
Menurut Kridalaksana (2002:33-34), “Konsep utama dalam fungsionalisme ialah fungsi bahasa dan fungsi dalam bahasa”. Menyangkut yang pertama, sikap fungisionalistis diungkapkan dengan pendekatan berikut:
(1) analisis bahasa mulai dari fungsi ke bentuk;
(2) sudut pandang pembicara menjadi perspektif analisis;
(3) deskripsi yang sistematis dan menyeluruh tentang hubungan antara fungsi dan bentuk;
(4) pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan analisis bahasa;
(5) perhatian yang cukup pada bidang interdisipliner, misalnya sosiolinguistik, dan pada penerapan linguistik bagi masalah-masalah praktis, misalnya pembinaan bahasa.
Dapat disimpulkan bahwa, konsep fungsi bahasa dalam aliran fungsionalis menganalisa bahasa dimulai dari fungsi ke bentuk, makna bahasa dilihat dari sudut pandang penutur. Berbeda dengan kaum strukturalis yang menganalisa bahasa dari bentuk ke fungsi dan makna ditentukan oleh bentuk bahasa dan dilihat secara leksikal. Sedangkan konsep fungsi dalam bahasa memandang struktur bahasa bukan hanya dianggap sebagai jaringan unsur subyek, predikat, obyek, tetapi lebih sebagai jaringan fungsi. Jika salah satu unsur berubah maka unsur yang lain harus menyesuaikan (Kridalaksana, 2002:34). Analisis bahasa dengan aliran fungsionalism biasa dikenal dengan istilah deep structure.
Dalam menganalisis bahasa menurut konteks sosiokultural itu bukan hanya meliputi bentuk-bentuk bahasa, melainkan juga peristiwa bahasa. Pengetahuan bahasa mencakup pengetahuan tentang wacana dan pengetahuan tentang bagaimana menggambarkannya dalam komunikasi. Gambaran bahasa dalam komunikasi itu dipengaruhi oleh elemen-elemen komunikasi. Holmes (2001:8-9) membaginya ke dalam dua aspek yaitu, faktor sosial (social factor) dan dimensi sosial (social dimension). Faktor sosial terdiri dari empat elemen :
1. The participant : who is speaking and who are they speaking to ?
2. The setting or social context of the interaction : where are they speaking ?
3 The topic : what is being talked about ?
4. The function : why are they speaking ?
Aspek dimensi sosial juga terdiri dari empat elemen :
1. A social distance : jarak hubungan sosial penutur dan petutur (Intimate or Distant)
2. A status : status sosial antara penutur dan petutur (Superior or Subordinate)
3. A formality : situasi formal atau informal
4. Two functional : berhubungan dengan tujuan atau topik interaksi (Referential or Affective).
Menurut Holmes, faktor sosial dan dimensi sosial memengaruhi proses berbahasa dalam komunikasi. Sementara Cook (1993:25) merincinya lagi menjadi tujuh elemen komunikasi. Ketujuh elemen tersebut yaitu,
1. Penutur (the addresser) : orang yang menyampaikan pesan asli.
2. Petutur (the addressee) : orang yang menerima pesan asli.
3. Media (the channel) : media yang digunakan untuk menyampaikan pesan.
4. Bentuk pesan (the message form) : pilihan struktur dan kata khusus dalam pesan yang disampaikan.
5. Topik (the topic) : informasi yang terkandung dalam pesan.
6. Koda (the code) : bahasa atau dialek
7. Setting (the setting) : konteks sosial atau fisikal.
Dari ketujuh elemen tersebut Cook mengelompokkannya ke dalam istilah fungsi makro (macro-functions) dan fungsi mikro (micro-functions). Fungsi makro berdasarkan pada fokus tujuan dan keinginan dari penutur ketika berbicara. Fungsi ini terdiri dari tujuh elemen, yaitu
1. Fungsi emosi (the emotive function) : ujaran mengkomunikasikan atau mengekspresikan emosi penutur. Dengan kata lain, fungsi ini fokus pada penutur (addresser).
Contoh : 'Oh no!', 'Fantastic!', 'I'm feeling great today'
2. Fungsi direktif (the directive function) : ujaran yang berusaha untuk membuat petutur melakukan sesuatu untuk penutur. Dengan kata lain, fungsi ini fokus pada petutur (addressee).
Contoh : 'Clear the table', 'Please help me!', 'I'm warning you!'.
3. Fungsi referensial (the referential function) : ujaran yang berisi informasi. Fungsi ini fokus pada isi pesan atau informasinya.
Contoh : At the third stroke it will be three o'clock precisely.
4. Fungsi Metalinguistik (the metalinguistic function) : ujaran yang merupakan komentar pada bahasa itu sendiri. Fokus pada aspek-aspek yang ada dalam bahasa itu sendiri.
Contoh : 'Hegemony' is not a common word.
5. Fungsi estetis (the poetic function) : ujaran yang fokus pada keindahan bentuk bahasa. Contohnya : puisi, motto yang unik, rima, dan sebagainya.
6. Fungsi fatis (the phatic function) : ujaran yang mengungkapkan solidaritas atau empati dengan orang lain.
Contohnya : ”Hello, Lovely weather”, ”Can you hear me ?”
7. Fungsi kontekstual (the contextual function) : ujaran yang menghasilkan jenis khusus komunikasi.
Contoh : 'Right, let's start the lecture', 'It's just a game'
Fungsi makro yang dijelaskan oleh Cook dan Holmes sedikit berbeda. Holmes hanya mengelompokkan fungsi ujaran (function of speech) ke dalam enam elemen, sama dengan Cook, tetapi tidak memasukkan fungsi kontekstual ke dalamnya (Holmes, 2001:259).
Selanjutnya, Cook (1993:27) mengembangkan fungsi makro tersebut ke dalam lingkup fungsi yang lebih kecil lagi. Hasil pengembangan itu dikenal dengan istilah fungsi mikro (micro-function). Fungsi mikro dikembangkan dari salah satu elemen fungsi makro. Fungsi ini bisa dikatakan sebagai variasi bentuk ujaran yang memiliki satu fungsi makro yang sama. Contohnya, dalam fungsi direktif, penutur berusaha untuk membuat petutur melakukan sesuatu untuk kepentingan dirinya. Dalam hal ini bentuk ujaran direktif tidak harus selalu dalam bentuk kalimat perintah (imperative or exclamation), tetapi bisa dalam bentuk kalimat tanya (question) atau kalimat permintaan (request). Cook menjelaskan fungsi mikro ini dengan skema sebagai berikut :
Questions requests for action
orders requests for information
directive function requests requests for help
pleas request for sympathy
prayers
Pengaruh Perspektif Sosiolinguistik Bahasa dan Komunikasi dalam Pembelajaran Bahasa
Pendekatan dan metode pembelajaran bahasa tidak bisa lepas dari paradigma formalism dan fungsionalism. Paradigma formalism dalam pembelajaran bahasa memandang bahwa belajar bahasa sebagai tujuan (learning language as an end). Sehingga fokus pembelajaran terletak pada bahasa sebagai ilmu. Seorang pemelajar akan mempelajari sistem yang ada dalam bahasa tersebut. Mereka berkutat pada struktur atau grammar dan analisis secara sintaksis. Tentu saja metode pembelajaran yang dipakai bersifat strukturalis atau yang dikenal dengan Grammar Translation Method (GTM). Pembelajaran bahasa difokuskan pada penguasaan tata bahasa atau grammar.
Kelemahan dari metode pembelajaran itu adalah membuat pemelajar menguasai tata bahasa tetapi tidak mampu menggunakannya dalam komunikasi. Kondisi ini menyebabkan perubahan paradigma pembelajaran bahasa yang dipengaruhi oleh aliran fungsionalism. Paradigma fungsionalism memandang bahwa belajar bahasa adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pembelajaran bahasa lebih fokus pada fungsinya dalam komunikasi. Sehingga pembelajaran dilakukan dengan pendekatan komunikatif (communicative approach). Dalam pendekatan komunikatif, bahasa diajarkan berdasarkan konteksnya. Pada akhir pembelajaran bahasa, seorang pemelajar diharapkan memiliki empat kompetensi komunikatif (communicative competence), yaitu penguasaan tata bahasa (Grammatical competence), penguasaan konteks sosial bahasa dalam komunikasi (Sosiolinguistic competence), kemampuan menginterpretasi hubungan pesan secara keseluruhan dalam wacana (Discourse competence) dan kemampuan dalam strategi komunikasi (Strategic competence) (Richards, 1994:71).
Sebagai pembelajar bahasa, seharusnya mempertimbangkan faktor kebutuhan dari pemelajar sebelum membuat kurikulum, silabus, materi dan metode pembelajaran. Sehingga mutu pembelajaran dapat terjaga, artinya ada pertemuan antara kebutuhan pemelajar bahasa dan pelayanan yang diberikan oleh pembelajar bahasa.
Kesimpulan
Bahasa dan komunikasi terkait dengan fungsi bahasa di luar konteks dan fungsi bahasa dalam konteks. Fungsi bahasa di luar konteks dipengaruhi oleh strukturalism sehingga dikenal dengan formalism. Aliran ini memandang bahasa hanya dari sisi bentuknya saja (form). Sedangkan fungsi bahasa dalam konteks dipengaruhi oleh perspektif sosiolinguistik sehingga dikenal dengan fungsionalism. Aliran ini memandang bahasa dari aspek bentuk dan fungsinya (form and function).
Fungsi bahasa kemudian dikembangkan oleh Cook dan Holmes dan mengelompokkannya ke dalam fungsi makro dan fungsi mikro. Cook mengelompokkan fungsi bahasa makro ke dalam tujuh elemen fungsi, sedangkan Holmes hanya enam elemen fungsi. Selain itu Cook mengembangkan lagi fungsi makro menjadi lingkup yang lebih kecil lagi yaitu fungsi mikro yang merupakan pengembangan dari satu elemen fungsi makro, sedangkan Holmes tidak melakukannya.
Perkembangan fungsi bahasa tersebut membawa pengaruh pada pembelajaran bahasa yang semula hanya bersifat formalis menjadi bersifat fungsionalis. Artinya, pembelajaran bahasa dititik beratkan pada kebutuhan pemelajar, salah satunya kemampuan menggunakan bahasa dengan baik dan berterima dalam komunikasi.

0 komentar: